Friday, 11 May 2012

PENDIDIKAN SATUKAN IMPIAN NEGERI - essay 2012 (karya: Nurul Eka Hidayah)



Kriiiiiiiinnngg..!!
Tahukan bunyi apa itu? Tepat sekali, itu adalah bunyi bel yang biasa kita dengar disekolah. Saat pukul 07.00 alat itu selalu berbunyi nyaring seolah membangkitkan semangat murid-murid untuk segera memasuki ruang kelas dan memulai pelajaran. Senangkah kalian yang menduduki bangku sekolah? Tentu saja! Masa sekolah adalah masa yang sangat indah. Dari hal kecil hingga hal besar semua kita mulai di SEKOLAH.
Saat kita lahir di negeri ini, kita tidak tahu satu hal apa pun yang ada disekitar kita. Namun dengan penuh kasih sayang, kedua orang tua kita mendidik dan membesarkan kita. Hingga kita tumbuh cerdas melewati ruang dan waktu. Ibu dan ayahlah yang selalu menuntun tujuan hidup kita yakni untuk menuntut ilmu. Dimanapun kita selalu belajar dan menjadi tahu. Takkan terlupa saat kita mulai mengenal angka dari 0, 1, 2, 3… bertahap dan terus bertambah. Kemudian ibu bernyanyi menyanyikan irama yang merdu merangkai syair huruf demi huruf hingga kita mulai tahu huruf A, B, C,… dan ibu pun terus bernyanyi.
Seiring kita mulai pandai mengucap, belum puas hati kedua orang tua kita apabila kita tidak dimasukkan sekolah Taman Kanak-Kanak (TK). Awal masuk TK, ibulah yang memakaikan baju seragam kita. Karena kita belum mampu memakainya sendiri. Kemudian mengikatkan tali sepatu. Kita belum bisa, Bu. Sesampainya di sekolah sambil melihat dari luar kelas, ibu tertawa melihat tingkah kita yang lucu dan menggemaskan. Seperti tidak mendengarkan guru yang mengajar karena asyik sendiri, mengikuti guru bernyayi, menari, berhitung, mengucap huruf dengan susah payah, bahkan kadang kita menangis karena takut saat disuruh bernyanyi di depan kelas. Dimasa itulah kita bermain, tertawa, belajar berbagi, berimajinasi dengan cita-cita, dan mengenal lingkungan sekitar kita. TK adalah awal dari segalanya.
Dua tahun kemudian sekitar usia 7 tahun kita semakin aktif, lalu orang tua kita pun segera mendaftarkan kita ke Sekolah Dasar (SD). Beliau sangat cermat memilihkan sekolah dasar yang tepat bagi kita. Kita pun mulai bisa mengenakan seragam sendiri, begitu juga mengikat tali sepatu. Di SD juga pertama kalinya kita diperkenalkan dengan dunia Kepramukaan. Dimana kita harus belajar terampil dan mandiri. Enam tahun sudah, SD kita lewati dengan dibimbing Bapak & Ibu Guru yang selalu sabar mengajari kita. Walaupun dimasa itulah kita mulai bandel-bandelnya sebagai anak. Namun ibu dan ayah merasa bangga karena tumbuhlah bakat kita.
Senyumpun mengembang, dan membuat mereka semangat untuk memasukkan kita ke Sekolah Menengah Pertama (SMP). Dimasa inilah terjadinya perubahan sedikit demi sedikit dari diri kita. Yang terkadang membuat kita sendiri merasa takut dan bingung. Maka dari itu ibu dan ayah tidak ingin calon anak remajanya menjadi kurang pengetahuan. Mereka membiarkan kita mencari jati diri kita agar bergaul namun bertanggung jawab antar sesama teman sebaya kita.
Meski wajib belajar bagi kita sudah terpenuhi setelah lulus SMP, rasanya masih minim bagi mereka. Mereka pun ingin anak remajanya juga menduduki bangku SMA. Dimana kita sudah beranjak dewasa dan mereka tahu bahwa sebentar lagi kita akan membahagiakan mereka.
Hingga tahap itulah saya mulai menyadari betapa berartinya bangku sekolah. Untuk apa dahulu ibu mengajari kita berhitung? Untuk apa juga ibu bernyanyi dan merangkai kata? 

Kini saya pun mengerti bahwa angka yang ibu ajarkan dahulu merupakan nilai yang tak terhingga. Berkat sekolah kini saya sudah pandai menghitung semua rumus dan angka. Berapapun saya menghitung, dari mengalikannya hingga menjumlahnya berkali-kali, angka selalu menyediakan hasilnya. Begitupun dengan nyanyian ibu, huruf demi huruf itu kini saya mampu membacanya dengan cepat dan benar. Juga sanggup merangkainya menjadi kata-kata yang indah dan bermanfaat bagi semua orang. Saya bangga bisa melewati hari-hari saya di sekolah hingga saat ini saya duduk dibangku SMK kelas 2. Orang tua saya pun selalu berusaha memenuhi fasilitas penunjang pendidikan bilamana perlu untuk saya. Tentunya menjadi sebuah cita-cita juga untuk bisa melanjutkan ke perguruan tinggi. Dan kelak mempunyai pekerjaan hingga tercapai mimpi saya sukses membangun negeri ini.
 Dibalik beruntungnya kita termasuk saya yang bisa merasakan tingkatan bangku sekolah dengan fasilitas yang layak dan tidak merasakan kesulitan yang berarti, namun perlu juga kita tengok kebelakang. Ada apa disana? Di kehidupan yang berbeda. Mengapa ada anak-anak di jalan saat jam sekolah? Mengapa ada yang pergi ke sekolah tanpa alas kaki? Mengapa ada sekolah yang beralaskan tanah? Mengapa sekolah itu siswanya hanya 6? Mengapa sekolah saya di kota berbeda dengan mereka yang di pelosok? Mengapa banyak anak putus sekolah? Mengapa? Dan mengapa?
Segelintir pertanyaan-pertanyaan itulah yang mungkin akan kita renungkan pada pembahasan esai kali ini. Sudah terwujudkah kesetaraan pendidikan di negeri kita ini?
Saya rasa sangat belum terwujud. Pendidikan di Indonesia masih terbelakang namun terus berkembang. Faktor apa sih yang menghambat tidak terwujudnya kesetaraan pendidikan? Saya rasa dari segi geografis kita kaya raya dengan segala hasil alam yang melimpah. Dari segi SDM, Indonesia juga kaya penduduk. Sebagai negara berkembang, kita juga mempunyai pemimpin yang berpotensi.
Ya, ternyata bukan hanya itu saja. Pertama yang harus dilakukan yakni memperbaiki moral bangsa. Salah satunya mengedepankan jalur pendidikan sebagai pilar berdirinya negeri ini.
Penyelesaiannya dapat dilihat dari banyaknya peristiwa yang menjadi sorotan penghambat kemajuan pendidikan di Indonesia.
Kasus pertama. Pernah suatu saat saya pergi ke sekolah melewati sebuah traffict light ada seorang pengamen jalanan yg masih seumuran saya. Tatapannya seakan tak pernah lepas menatap saya. Saya pun juga demikian. Mungkin di dalam hatinya ia merasa ingin seperti anak seusianya yang  lain. Yang bisa setiap pagi diantar orang tuanya ke sekolah. Sungguh pemandangan yang membuat saya merasa sedih saat itu. Salah siapakah kasus ini bisa terjadi?
1.      Orang tua
Seharusnya orang tua yang telah menjadikan mereka ada mampu bertanggung jawab memenuhi kebutuhan pendidikan bagi anaknya. Sebagai orang tua, mereka harus berjuang menyekolahkan anaknya bagaimanapun usaha dan cara mereka. Bukan malah menyuruh anaknya turun ke jalanan ikut menafkahi keluarganya. Belum waktunya mereka melakukan hal itu. Jika sudah seperti itu, dilihat dari pendidikan di dalam keluarganya pun pasti sudah tidak harmonis dan telah merubah jiwa juga psikologis anak tersebut. Apabila psikologis mereka terguncang, maka anak tersebut akan merasa santai saja berbuat semau mereka karena tidak mempunyai tanggung jawab sebagai pelajar. Lambat laun anak yang tadinya baik akan berubah sifatnya menjadi jahat, pemberontak, tega, dan anarkis. Tidak disangkal banyak kasus anak jalanan yang brutal, bertindak kriminal, terjerumus seks bebas, bahkan suka memakai barang haram. Itulah akibat tidak adanya pendidikan untuknya sejak kecil. Sehingga semakin dewasa, ia akan merasa frustasi dengan jalan hidupnya yang terasa kelam. Akhirnya mereka berani melampiaskan amarahnya dengan cara-cara diluar akal sehat kita. Poin pertama, orang tualah pemeran terpenting dalam mewujudkan kesetaraan pendidikan di Indonesia.
2.      Lingkungan dan Sosial
Lingkungan yang buruk juga akan membawa pengaruh besar pada motivasi anak untuk bersekolah. Banyak anak yang mungkin tidak ingin bersekolah karena tidak memiliki orang tua dan ajakan temannya yang lebih dulu mencari nafkah dijalanan. Atau di dalam lingkungan yang masyarakatnya tidak peduli dengan pendidikan. Ia merasa lebih berarti apabila berada dalam gerombolan temannya. Sehingga ia sudah merasa baik-baik saja dengan hidupnya di jalanan. Mereka merasa bebas dan tanpa beban. Nah poin kedua ini juga sangat mempengaruhi dalam mewujudkan kesetaraan pendidikan di Indonesia.
3.      Pemerintah
Biaya pendidikan yang mahal mungkin menjadi alasan sebagian orang tua tidak menyekolahkan anaknya. Catatan penting bagi pemerintah, karena belum meratanya pendidikan gratis di Indonesia. Saat ini pendidikan wajib 9 tahun untuk SD dan SMP khususnya Negeri memang gratis di seluruh Indonesia. Adannya dana BOS (Biaya Operasional Sekolah) dan dilarang memungut biaya apapun terhadap siswa. Kecuali biaya buku dan LKS untuk menunjang pembelajaran di sekolah. Namun sekolah Negeri di Indonesia dirasa masih terbatas dan kurang merata. Untuk masuk ke Negeri pun tidak mudah. Tentunya saat masuk SD harus melewati tes. Apabila masuk SMP harus ditentukan dari hasil NEM ujian nasional saat SD. Seandainya tidak memenuhi syarat karena NEM yang rendah, otomatis akan terlempar pada pilihan kedua, bahkan jalan terakhir pada pilihan ketiga yakni masuk ke sekolah Swasta. Bagi yang kurang mampu, tentunya sangat berat jika sampai bersekolah di sekolah Swasta dengan biayanya yang sangat mahal. Untuk itu orang tua berpikir lebih baik anaknya berhenti sekolah dan tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Nah poin ketiga ini juga memanggul peran penting dalam mewujudkan kesetaraan pendidikan di Indonesia pada kasus pertama.
Untuk itu solusi yang bisa dilakukan pada kasus pertama adalah:
Yang pertama, sesungguhnya dengan adanya sekolah gratis untuk SD dan SMP, pemerintah sudah mengeluarkan kebijakan yang sangat baik dan telah memberi perubahan besar terhadap pendidikan di Indonesia. Namun alangkah lebih baik pemerintah juga menambah sekolah Negeri di kawasan padat penduduk dan daerah pelosok. Agar terciptanya keadilan, maka penambahan sekolah harus diukur dengan berbagai terakreditasi. Sehingga siswa yang memiliki nilai rata-rata dan kurang mampu, tetap sanggup merasakan bersekolah gratis di sekolah Negeri. Juga siswa yang berprestasi namun kurang mampu mendapatkan beasiswa untuk bisa besekolah setinggi-tingginya.
Yang kedua, orang tua harus bertaggung jawab untuk memberikan pendidikan baik di dalam keluarga, lingkungannya, dan memberikan dorongan motivasi anaknya untuk bersekolah. Karena anak adalah bibit unggul masa depan bagi negara. Dengan adanya pendidikan agama yang baik dari keluarga, pasti akan menumbuhkan anak-anak yang mempunyai budi pekerti yang baik juga.
Yang ketiga, organisasi sosial mengenai perlindungan anak juga harus aktif memantau anak-anak jalanan yang membutuhkan bantuan. Baik sebagai pengamen, pemulung, pengemis, dan sebagainya untuk bekerja dan tidak sekolah akibat kemiskinan hidupnya, selama itu pula semua pihak punya tanggung jawab mewujudkan mimpi anak-anak tersebut. Salah satunya mengumpulkan mereka dan berusaha memberikan bimbingan. Langkah awal yaitu menertibkan tingkah mereka yang masih liar, serta memberi pendidikan dengan memasukkan ke dalam rumah singgah anak. Dengan begitu, dirasa lebih baik daripada mereka di jalanan dan tidak terawat. Pihak-pihak terkait harus memberikan masukan bahwa sekolah itu menyenangkan dan tidak menakutkan. Jadi, mereka akan mempunyai semangat tersendiri dan bukan karena paksaan mereka ingin bersekolah. Apabila langkah awal sudah berjalan baik, maka selanjutnya organisasi perlindungan anak bekerjasama dengan pemerintah untuk menggiring mereka menduduki bangku sekolah yang pastinya gratis.
Kasus kedua, mengenai pendidikan di kota dan di desa atau pelosok. Apabila kita melihat, sekolah di kota lebih maju daripada di desa dan daerah pelosok. Dari segi akses ke sekolah pastinya di kota lebih mudah. Bersekolah di kota mempunyai banyak transportasi umum dengan berbagai jalurnya. Juga jarak yang ditempuh tidak terlalu jauh karena bangunan sekolah sebagian besar berada di kota dan dekat dengan rumah penduduk. Dari segi bangunannya pun lebih besar dan bertingkat. Fasilitas juga tentunya sekolah di kota mendapatkan perhatian yang lebih besar. Semua fasilitas yang ada sudah lengkap dan lebih dari cukup. Seperti laboratorium IPA, LCD di setiap kelas, ruang komputer, AC, studio musik, laboratorium bahasa inggris maupun indonesia, ruang praktek, perpustakaan, kantin, lapangan basket dan sebagainya dirasa sudah biasa dan pasti ada di kebanyakan sekolah.
Namun apabila sekolah yang berada di desa maupun pelosok belum tentu seberuntung sekolah yang berada di kota. Dari segi akses, sekolah di sana mungkin masih jauh dari rumah. Tidak jarang yang rela berjuang keras demi menuju ke sekolah mereka. Ingatkah dengan film “Laskar Pelangi”? di daerah Bangka Belitung yang masih pelosok di sana begitu menggambarkan perjuangan anak-anak yang ingin menuntut ilmu. Meski sulit tapi mereka ingin melakukannya demi masa depan. Begitu mengharukan dan memberikan motivasi. Nah, gambaran itulah yang mungkin masih banyak di daerah-daerah lain yang belum terjamah fasilitas pendidikan yang layak bagi warganya. Sekalipun ada, letaknya beberapa kilometer dari rumah. Itu saja mereka harus berangkat berjalan kaki mulai hari masih gelap dengan rute melewati sungai tanpa jembatan, menelusuri hutan, melompati batuan terjal, dan sebagainya. Tak jarang sesampainya di sekolah mereka sudah basah kuyup baik seragam maupun buku pelajaran mereka. Tanpa alas kaki mereka bersekolah, namun masih tetap bisa tersenyum dan menerima pelajaran dengan baik. Sekolah di desa atau pelosok juga mungkin tidak sebagus di kota. Dari bangunan masih seadanya mungkin ada yang hanya sepetak, atau beberapa ruang saja. Ditambah kerusakan bangunan yang sudah tua, apalagi fasilitasnya mungkin belum mumpuni. Mereka tidak mempunyai laboratoium, perpustakaan, LCD disetiap kelas, dan sebagainya apalagi studio musik. Sederhana dan apa adanya mereka. Tidak seimbang bukan? Apa yang menjadi faktor membuat perbedaan itu?
Pada kasus ini mungkin semua harus ditanggung oleh pemerintah. Baik pemerintah pusat dan pemerintah daerah itu sendiri. Pertama pemerintah harus melakukan pendataan penduduk usia sekolah. Adakah yang belum mendapatkan pendidikan. Kemudian pemerintah juga harus menambah sekolah di beberapa wilayah yang dirasa belum terdapat tempat pendidikan. Tentunya masyarakat setempat dapat bersekolah gratis selama 9 tahun. Karena masih banyak di daerah pelosok yang belum mendapatkan pendidikan gratis akibat tidak meratanya pelaksanaan kebijakan pemerintah tersebut. Juga adanya perbaikan bagi sekolah-sekolah di desa dan pelosok yang mengalami rusak parah. Karena anak didik harus mendapatkan tempat pendidikan yang layak bagi mereka. Kalau perlu dibuat seperti sekolah-sekolah yang ada di perkotaan juga. Dengan segala fasilitas yang lengkap dan bermanfaat untuk menunjang prestasi para siswa. Untuk itu, diharapkan siswa di desa dan di pelosok tidak tertinggal dan tidak kalah pintar seperti siswa yang di kota dengan segala keistimewaannya.
Apabila letak sekolah jauh dari pemukiman penduduk, maka pemerintah juga harus mengadakan anggaran untuk membangun berbagai akses penunjang, seperti jembatan yang layak. Jika letak sekolah dipisahkan oleh sungai yang besar, maka diperlukan akses sebuah jembatan untuk mempermudah mereka menyeberangi sungai tersebut. Jembatan tentunya harus kuat dan kokoh sebagai investasi jangka panjang bagi mereka yang ingin bersekolah maupun, yang menggunakan jembatan itu.
Selain jembatan juga dilakukan pembuatan aspal. Karena di desa atau pelosok sebagian besar belum terdapat jalan yang diaspal. Tujuan dibuat jalan aspal yaitu agar jalanan tidak lagi berlumpur atau berbatu. Jika hujan, sering kali keadaan seperti itu menghambat kendaraan yang melintas karena becek dan membahayakan. Sehingga dapat mengganggu akses para siswa yang ingin pergi ke sekolah. Ujungnya mereka tidak berangkat ke sekolah dengan alasan hujan. Maka dari itu akses jalan juga sangat penting menunjang pendidikan di daerah tertentu.
Selain fasilitas infrastruktur, di desa dan pelosok juga diperlukan sistem pendidikan yang berkualitas. Diantaranya adanya guru yang kompeten dan besertifikasi. Apabila disuatu sekolah tersebut siswanya hanya sedikit maka perlu diadakannya penggabungan. Tujuannya agar guru-guru yang kompeten tersebut dapat memaksimalkan mengajarnya dan tidak membuat siswa merasa bosan apabila muridnya hanya sedikit. Belajar dengan banyak teman dan menyenangkan, akan memotivasi minat siswa untuk bersekolah. Sehingga jumlah guru yang ada di desa dan pelosok jumlahnya perlu ditambah sebanyak-banyaknya untuk melahirkan ilmuwan dari desa untuk Indonesia.
Dan yang terakhir untuk menghemat anggaran pendidikan, sebaiknya pemerintah memperbanyak dan memperluas keberadaan perpustakaan keliling. Perpustakaan keliling ini dirasa cukup efektif dan bermanfaat bagi masyarakat. Tidak hanya untuk anak yang bersekolah saja. Tapi masyarakat lain yang sudah tidak bersekolah pun juga bisa menggunakan fasilitas umum tersebut. Tentunya masyarakat menjadi banyak pengetahuannya dengan budaya membaca yang mereka peroleh dari perpustakaan keliling. Jadi, di dalam sekolah tidak diharuskan mendirikan perpustakaan khusus. Cukup menunggu perpustakaan keliling datang ke sekolah mereka dan mereka bebas memilih buku apapun yang ingin dibaca. 
Terlepas dari pembahasan kedua kasus di atas, secara umum dalam mewujudkan kesetaraan pendidikan di Indonesia ini ditentukan melalui beberapa ketentuan yang menurut saya dapat memberikan perubahan bagi pendidikan di Indonesia.
1.      Guru
Di Indonesia sendiri, sudah banyak yang berminat menjadi guru. Karena saat ini guru terjamin hidupnya oleh negara. Sehingga saat test CPNS, tidak sedikit yang melakukan kecurangan. Seperti menggunakan uang agar diterima sebagai pegawai negeri. Tentunya hal tersebut menyebabkan penerimaan guru yang kurang kompeten dan asal-asalan sudah boleh mengajar di sekolah. Itu yang menyebabkan sering terjadinya ketidak jelasan saat mengajar siswa. Mungkin karena pengetahuan dan pengalaman yang kurang. Jadi sebaiknya calon-calon guru tersebut harus melalui beberapa tes, kemudian praktek sebanyak-banyaknya, dan diadakannya diklat bagi mereka agar lebih kompeten dalam mengajar. Pemerintah pun harus lebih selektif dalam menerima calon CPNS. Sehingga guru yang benar-benar kompeten dapat dialokasikan secara merata baik di kota maupun desa dan pelosok. Karena seorang guru dapat menentukan berhasil tidaknya 1.000 orang. Gurulah pemeran penting dalam mewujudkan kesetaraan pendidikan di negeri ini.
2.      Layanan Prima Pendidikan
Layanan prima tidak selalu memberi keistimewaan tanpa manfaat. Artinya pendidikan harus terselenggara dengan baik antara kinerja guru dengan siswa. Sehingga pendidikan dapat diutamakan daripada pengajaran. Pendidikan harus menekankan aktivitas mandiri bagi murid. Jadi pendidikan yang baik itu menanamkan pengertian daripada hafalan. Apabila hanya hafalan, murid tidak akan sanggup mengaplikasikan dalam kehidupan nyata. Agar lebih kompeten, pendidikan disesuaikan dengan perkembangan anak. Dan harus diberikan satu per satu sehingga manfaatnya dapat langsung dirasakan oleh murid yang bersangkutan. Baik melihat petunjuk, mempelajari, dan mempraktikannya. Sehingga rasionalisme yang ada di kepala manusia, otomatis akan mengingat-ingat apa yang telah diamati, kemudian mempelajari dan mengolah bahan yang telah diterimanya dengan baik. Untuk itu layanan pendidikan tidak hanya dalam bentuk pengajaran, namun juga mengedepankan kreatifitas individu dalam memecahkan masalah di kehidupan nyata.
3.      Peran pemerintah
Jika dihubungkan masalah pendidikan di Indonesia dari akar hingga ujungnya pasti ada kaitannya dengan pemerintah. Pemerintahlah peran paling penting dalam segala aspek. Dari yang mengadakan, membangun, hingga mengontrol serta menetapkan aturan kebijakan pendidikan. Namun masih banyak kekurangan mengenai kebijakan pemerintah dan perlu dibenahi. Diantaranya penyelenggaraan UAN. Menurut saya, UAN (Ujian Akhir Nasional) langkah dalam menentukan kelulusan bagi para siswa kurang efektif. Selain menghabiskan dana yang cukup besar, juga memberi kesan menyeramkan bagi sebagian pelajar. Proses yang dilalui beberapa tahun di sekolah, hanya ditentukan dalam 3 atau 4 mata pelajaran saja. Dengan target pencapaian KKM yang setiap tahun semakin meningkat, pasti akan mempengaruhi psikologi para siswa.
Alangkah lebih baik, apabila Ujian Akhir Nasional tetap dilaksanakan sebagai tolak ukur. Namun tidak hanya mata pelajaran adaptif saja, diharap tetap mempertimbangkan hasil rapor, praktek, bakat hingga kepribadian setiap individu. Seperti yang telah diterapkan pada SMA/SMK sederajat, sekiranya SMP juga perlu. Sehingga lulus tidaknya anak tersebut ditentukan oleh sekolah itu sendiri. Karena pihak sekolah yang lebih mengetahui kemampuan masing-masing siswanya dan bukan ditentukan oleh negara. Bisa saja siswa yang kesehariannya sangat cerdas namun, saat UAN ia merasa stres. Sehingga ia dinyatakan TIDAK LULUS dalam melalui proses belajar. Adanya ketidakadilan apabila sampai terjadi hal tersebut. Atau bisa juga terjadi kesalahan pada alat yang digunakan untuk mengoreksi lembar jawaban. Jawaban yang seharusnya benar, karena goresan yang kurang tebal ataupun salah pensil menjadikan jawabannya juga salah dan itu merugikan siswa.
Anggaran untuk menyelenggarakan UAN sendiri dinilai cukup besar dan menggunakan APBN masyarakat yang tidak sedikit. Namun masih terlihat tidak jelas ujungnya. Daripada timbul tindak kecurangan dari pemerintah yang menyalahgunakan dana tersebut (korupsi), lebih baik sebagian dana dialokasikan untuk pembangunan gedung sekolah serta perbaikan sekolah yang rusak dan tidak layak di daerah-daerah yang lebih membutuhkan perhatian pemerintah. Bagi pemerintah, utamakanlah kepentingan anak bangsa yang kelak akan memimpin Indonesia menjadi lebih maju dan nomor satu.
4.      Seluruh Masyarakat dan Lembaga Sosial
Sebagai masyarakat yang bertanah air satu, tanah air Indonesia maka kita harus bersatu. Masyarakat wajib berperan aktif memerangi kebodohan di negeri ini. Hilangkan persepsi mengenai pendidikan yang tidak berpihak pada golongan kebawah. Salah satunya dengan usaha lembaga sosial kepada masyarakat. Seharusnya mereka lebih aktif memberikan penyuluhan tentang pentingnya pendidikan. Tentunya mampu memberikan gambaran yang menyenangkan bagi mereka. Pendidikan tidak hanya menuntut mereka duduk di bangku sekolahan dan melakukan ujian. Namun pendidikan yang utama bertujuan menjadikan masyarakat berwawasan luas, mempunyai budi pekerti luhur, dan mampu memberi perubahan untuk negeri. Untuk itu masyarakat perlu sadar dan berusaha menjadi lebih baik. Tinggal bagaimana tindakan pemerintah dan lembaga sosial menyediakan fasilitas yang layak bagi seluruh masyarakat.
Kesimpulannya, demi mewujudkan kesetaraan pendidikan di Indonesia dapat dilihat dari berbagai aspek. Tentunya digolongkan sesuai permasalahannya. Untuk mencapai suatu tujuan tersebut juga perlu adanya usaha. Seluruh Warga Negara baik pemerintah, LSM, hingga masyarakat wajib ikut serta.
Hilangkan kebodohan dari muka bumi, dan ciptakan manusia berprestasi. Tanpa adanya pendidikan yang layak bagi suatu bangsa, ibarat tiang tidak akan berdiri tegak. Jangan biarkan bangsa ini terus terpuruk. Selesaikan dengan moral dan tindakan yang berpendidikan. Unggulkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai landasan berdirinya negeri ini. Yakni untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Mari Putra dan Putri Indonesia, bangkitkan semangat kita untuk belajar! Jangan lelah, dan jangan menyerah! Yakinlah suatu hari nanti, impian negeri ini akan menjadi nyata. INDONESIA BISA!! :)
 
LAMPIRAN

Sungai Ciberang
Menantang maut, mungkin ungkapan ini cocok untuk para siswa SD di Kampung Waru, Desa Sangiangtanjung, Kec. Kalanganyar, Kab. Lebak, Banten. Tiga murid SD Negeri 02 Sangiangtanjung ini harus melintasi sebuah jembatan gantung yang miring karena talinya putus.



  
Nasib anak jalanan yang harus bekerja mencari nafkah. Sangat memprihatinkan dan membuat hati sedih. Seharusnya mereka mendapatkan pendidikan yang layak.






Perbedaan yang cukup jelas antara sekolah di desa dan sekolah di kota. Sekolah di desa (bawah) mempunyai ruang kelas yang tidak layak dan berbahaya bagi penghuninya. Sedangkan sekolah di kota (atas) sangat layak dan memiliki fasilitas yang cukup.






Perpustakaan merupakan fasilitas umum yang menjadi alternatif paling efektif untuk menunjang pendidikan bagi siswa dan seluruh masyarakat.
Perpustakaan keliling (atas) berkeliling dari lokasi satu ke lokasi lain untuk memberikan kesempatan bagi masyarakat yang ingin membaca. Perpustakaan sekolah (bawah) yang digunakan khusus untuk warga sekolah itu sendiri.

by: Nurul Eka Hidayah

1 comment:

  1. meskipun karya essay ini gagal menjuarai perlombaan essay, namun saya tetap optimis! :)

    ReplyDelete