Kriiiiiiiinnngg..!!
Tahukan bunyi apa itu?
Tepat sekali, itu adalah bunyi bel yang biasa kita dengar disekolah. Saat pukul
07.00 alat itu selalu berbunyi nyaring seolah membangkitkan semangat
murid-murid untuk segera memasuki ruang kelas dan memulai pelajaran. Senangkah
kalian yang menduduki bangku sekolah? Tentu saja! Masa sekolah adalah masa yang
sangat indah. Dari hal kecil hingga hal besar semua kita mulai di SEKOLAH.
Saat kita lahir di negeri
ini, kita tidak tahu satu hal apa pun yang ada disekitar kita. Namun dengan penuh
kasih sayang, kedua orang tua kita mendidik dan membesarkan kita. Hingga kita
tumbuh cerdas melewati ruang dan waktu. Ibu dan ayahlah yang selalu menuntun tujuan
hidup kita yakni untuk menuntut ilmu. Dimanapun kita selalu belajar dan menjadi
tahu. Takkan terlupa saat kita mulai mengenal angka dari 0, 1, 2, 3… bertahap dan
terus bertambah. Kemudian ibu bernyanyi menyanyikan irama yang merdu merangkai
syair huruf demi huruf hingga kita mulai tahu huruf A, B, C,… dan ibu pun terus
bernyanyi.
Seiring kita mulai
pandai mengucap, belum puas hati kedua orang tua kita apabila kita tidak
dimasukkan sekolah Taman Kanak-Kanak (TK). Awal masuk TK, ibulah yang memakaikan
baju seragam kita. Karena kita belum mampu memakainya sendiri. Kemudian mengikatkan
tali sepatu. Kita belum bisa, Bu.
Sesampainya di sekolah sambil melihat dari luar kelas, ibu tertawa melihat
tingkah kita yang lucu dan menggemaskan. Seperti tidak mendengarkan guru yang
mengajar karena asyik sendiri, mengikuti guru bernyayi, menari, berhitung, mengucap
huruf dengan susah payah, bahkan kadang kita menangis karena takut saat disuruh
bernyanyi di depan kelas. Dimasa itulah kita bermain, tertawa, belajar berbagi,
berimajinasi dengan cita-cita, dan mengenal lingkungan sekitar kita. TK adalah
awal dari segalanya.
Dua tahun kemudian
sekitar usia 7 tahun kita semakin aktif, lalu orang tua kita pun segera
mendaftarkan kita ke Sekolah Dasar (SD). Beliau sangat cermat memilihkan
sekolah dasar yang tepat bagi kita. Kita pun mulai bisa mengenakan seragam
sendiri, begitu juga mengikat tali sepatu. Di SD juga pertama kalinya kita
diperkenalkan dengan dunia Kepramukaan. Dimana kita harus belajar terampil dan
mandiri. Enam tahun sudah, SD kita lewati dengan dibimbing Bapak & Ibu Guru
yang selalu sabar mengajari kita. Walaupun dimasa itulah kita mulai bandel-bandelnya
sebagai anak. Namun ibu dan ayah merasa bangga karena tumbuhlah bakat kita.
Senyumpun mengembang,
dan membuat mereka semangat untuk memasukkan kita ke Sekolah Menengah Pertama
(SMP). Dimasa inilah terjadinya perubahan sedikit demi sedikit dari diri kita.
Yang terkadang membuat kita sendiri merasa takut dan bingung. Maka dari itu ibu
dan ayah tidak ingin calon anak remajanya menjadi kurang pengetahuan. Mereka membiarkan
kita mencari jati diri kita agar bergaul namun bertanggung jawab antar sesama
teman sebaya kita.
Meski wajib belajar bagi
kita sudah terpenuhi setelah lulus SMP, rasanya masih minim bagi mereka. Mereka
pun ingin anak remajanya juga menduduki bangku SMA. Dimana kita sudah beranjak dewasa
dan mereka tahu bahwa sebentar lagi kita akan membahagiakan mereka.
Hingga tahap itulah saya
mulai menyadari betapa berartinya bangku sekolah. Untuk apa dahulu ibu
mengajari kita berhitung? Untuk apa juga ibu bernyanyi dan merangkai kata?
Kini saya pun mengerti
bahwa angka yang ibu ajarkan dahulu merupakan nilai yang tak terhingga. Berkat
sekolah kini saya sudah pandai menghitung semua rumus dan angka. Berapapun saya
menghitung, dari mengalikannya hingga menjumlahnya berkali-kali, angka selalu
menyediakan hasilnya. Begitupun dengan nyanyian ibu, huruf demi huruf itu kini saya
mampu membacanya dengan cepat dan benar. Juga sanggup merangkainya menjadi
kata-kata yang indah dan bermanfaat bagi semua orang. Saya bangga bisa melewati
hari-hari saya di sekolah hingga saat ini saya duduk dibangku SMK kelas 2. Orang
tua saya pun selalu berusaha memenuhi fasilitas penunjang pendidikan bilamana
perlu untuk saya. Tentunya menjadi sebuah cita-cita juga untuk bisa melanjutkan
ke perguruan tinggi. Dan kelak mempunyai pekerjaan hingga tercapai mimpi saya
sukses membangun negeri ini.
Dibalik beruntungnya kita termasuk saya yang bisa merasakan
tingkatan bangku sekolah dengan fasilitas yang layak dan tidak merasakan
kesulitan yang berarti, namun perlu juga kita tengok kebelakang. Ada apa
disana? Di kehidupan yang berbeda. Mengapa ada anak-anak di jalan saat jam
sekolah? Mengapa ada yang pergi ke sekolah tanpa alas kaki? Mengapa ada sekolah
yang beralaskan tanah? Mengapa sekolah itu siswanya hanya 6? Mengapa sekolah
saya di kota berbeda dengan mereka yang di pelosok? Mengapa banyak anak putus
sekolah? Mengapa? Dan mengapa?
Segelintir pertanyaan-pertanyaan
itulah yang mungkin akan kita renungkan pada pembahasan esai kali ini. Sudah terwujudkah
kesetaraan pendidikan di negeri kita ini?
Saya rasa sangat belum
terwujud. Pendidikan di Indonesia masih terbelakang namun terus berkembang. Faktor
apa sih yang menghambat tidak terwujudnya kesetaraan pendidikan? Saya rasa dari
segi geografis kita kaya raya dengan segala hasil alam yang melimpah. Dari segi
SDM, Indonesia juga kaya penduduk. Sebagai negara berkembang, kita juga
mempunyai pemimpin yang berpotensi.
Ya, ternyata bukan hanya itu saja. Pertama yang harus
dilakukan yakni memperbaiki moral bangsa. Salah satunya mengedepankan jalur
pendidikan sebagai pilar berdirinya negeri ini.
Penyelesaiannya dapat
dilihat dari banyaknya peristiwa yang menjadi sorotan penghambat kemajuan
pendidikan di Indonesia.
Kasus pertama. Pernah
suatu saat saya pergi ke sekolah melewati sebuah traffict light ada seorang pengamen jalanan yg masih seumuran saya.
Tatapannya seakan tak pernah lepas menatap saya. Saya pun juga demikian.
Mungkin di dalam hatinya ia merasa ingin seperti anak seusianya yang lain. Yang bisa setiap pagi diantar orang
tuanya ke sekolah. Sungguh pemandangan yang membuat saya merasa sedih saat itu.
Salah siapakah kasus ini bisa terjadi?
1.
Orang tua
Seharusnya orang tua
yang telah menjadikan mereka ada mampu bertanggung jawab memenuhi kebutuhan
pendidikan bagi anaknya. Sebagai orang tua, mereka harus berjuang menyekolahkan
anaknya bagaimanapun usaha dan cara mereka. Bukan malah menyuruh anaknya turun
ke jalanan ikut menafkahi keluarganya. Belum waktunya mereka melakukan hal itu.
Jika sudah seperti itu, dilihat dari pendidikan di dalam keluarganya pun pasti
sudah tidak harmonis dan telah merubah jiwa juga psikologis anak tersebut.
Apabila psikologis mereka terguncang, maka anak tersebut akan merasa santai
saja berbuat semau mereka karena tidak mempunyai tanggung jawab sebagai
pelajar. Lambat laun anak yang tadinya baik akan berubah sifatnya menjadi
jahat, pemberontak, tega, dan anarkis. Tidak disangkal banyak kasus anak
jalanan yang brutal, bertindak kriminal, terjerumus seks bebas, bahkan suka
memakai barang haram. Itulah akibat tidak adanya pendidikan untuknya sejak
kecil. Sehingga semakin dewasa, ia akan merasa frustasi dengan jalan hidupnya
yang terasa kelam. Akhirnya mereka berani melampiaskan amarahnya dengan
cara-cara diluar akal sehat kita. Poin pertama, orang tualah pemeran terpenting
dalam mewujudkan kesetaraan pendidikan di Indonesia.
2.
Lingkungan dan Sosial
Lingkungan yang buruk
juga akan membawa pengaruh besar pada motivasi anak untuk bersekolah. Banyak
anak yang mungkin tidak ingin bersekolah karena tidak memiliki orang tua dan ajakan
temannya yang lebih dulu mencari nafkah dijalanan. Atau di dalam lingkungan
yang masyarakatnya tidak peduli dengan pendidikan. Ia merasa lebih berarti
apabila berada dalam gerombolan temannya. Sehingga ia sudah merasa baik-baik
saja dengan hidupnya di jalanan. Mereka merasa bebas dan tanpa beban. Nah poin
kedua ini juga sangat mempengaruhi dalam mewujudkan kesetaraan pendidikan di
Indonesia.
3.
Pemerintah
Biaya pendidikan yang
mahal mungkin menjadi alasan sebagian orang tua tidak menyekolahkan anaknya.
Catatan penting bagi pemerintah, karena belum meratanya pendidikan gratis di
Indonesia. Saat ini pendidikan wajib 9 tahun untuk SD dan SMP khususnya Negeri
memang gratis di seluruh Indonesia. Adannya dana BOS (Biaya Operasional
Sekolah) dan dilarang memungut biaya apapun terhadap siswa. Kecuali biaya buku
dan LKS untuk menunjang pembelajaran di sekolah. Namun sekolah Negeri di
Indonesia dirasa masih terbatas dan kurang merata. Untuk masuk ke Negeri pun
tidak mudah. Tentunya saat masuk SD harus melewati tes. Apabila masuk SMP harus
ditentukan dari hasil NEM ujian nasional saat SD. Seandainya tidak memenuhi
syarat karena NEM yang rendah, otomatis akan terlempar pada pilihan kedua,
bahkan jalan terakhir pada pilihan ketiga yakni masuk ke sekolah Swasta. Bagi
yang kurang mampu, tentunya sangat berat jika sampai bersekolah di sekolah Swasta
dengan biayanya yang sangat mahal. Untuk itu orang tua berpikir lebih baik
anaknya berhenti sekolah dan tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.
Nah poin ketiga ini juga memanggul peran penting dalam mewujudkan kesetaraan
pendidikan di Indonesia pada kasus pertama.
Untuk itu solusi yang
bisa dilakukan pada kasus pertama adalah:
Yang pertama,
sesungguhnya dengan adanya sekolah gratis untuk SD dan SMP, pemerintah sudah
mengeluarkan kebijakan yang sangat baik dan telah memberi perubahan besar
terhadap pendidikan di Indonesia. Namun alangkah lebih baik pemerintah juga
menambah sekolah Negeri di kawasan padat penduduk dan daerah pelosok. Agar
terciptanya keadilan, maka penambahan sekolah harus diukur dengan berbagai
terakreditasi. Sehingga siswa yang memiliki nilai rata-rata dan kurang mampu,
tetap sanggup merasakan bersekolah gratis di sekolah Negeri. Juga siswa yang
berprestasi namun kurang mampu mendapatkan beasiswa untuk bisa besekolah
setinggi-tingginya.
Yang kedua, orang tua
harus bertaggung jawab untuk memberikan pendidikan baik di dalam keluarga,
lingkungannya, dan memberikan dorongan motivasi anaknya untuk bersekolah.
Karena anak adalah bibit unggul masa depan bagi negara. Dengan adanya
pendidikan agama yang baik dari keluarga, pasti akan menumbuhkan anak-anak yang
mempunyai budi pekerti yang baik juga.
Yang ketiga, organisasi
sosial mengenai perlindungan anak juga harus aktif memantau anak-anak jalanan
yang membutuhkan bantuan. Baik sebagai pengamen, pemulung, pengemis, dan
sebagainya untuk bekerja dan tidak sekolah akibat kemiskinan hidupnya, selama
itu pula semua pihak punya tanggung jawab mewujudkan mimpi anak-anak tersebut. Salah
satunya mengumpulkan mereka dan berusaha memberikan bimbingan. Langkah awal
yaitu menertibkan tingkah mereka yang masih liar, serta memberi pendidikan
dengan memasukkan ke dalam rumah singgah anak. Dengan begitu, dirasa lebih baik
daripada mereka di jalanan dan tidak terawat. Pihak-pihak terkait harus
memberikan masukan bahwa sekolah itu menyenangkan dan tidak menakutkan. Jadi,
mereka akan mempunyai semangat tersendiri dan bukan karena paksaan mereka ingin
bersekolah. Apabila langkah awal sudah berjalan baik, maka selanjutnya
organisasi perlindungan anak bekerjasama dengan pemerintah untuk menggiring
mereka menduduki bangku sekolah yang pastinya gratis.
Kasus kedua, mengenai
pendidikan di kota dan di desa atau pelosok. Apabila kita melihat, sekolah di
kota lebih maju daripada di desa dan daerah pelosok. Dari segi akses ke sekolah
pastinya di kota lebih mudah. Bersekolah di kota mempunyai banyak transportasi
umum dengan berbagai jalurnya. Juga jarak yang ditempuh tidak terlalu jauh
karena bangunan sekolah sebagian besar berada di kota dan dekat dengan rumah
penduduk. Dari segi bangunannya pun lebih besar dan bertingkat. Fasilitas juga
tentunya sekolah di kota mendapatkan perhatian yang lebih besar. Semua
fasilitas yang ada sudah lengkap dan lebih dari cukup. Seperti laboratorium
IPA, LCD di setiap kelas, ruang komputer, AC, studio musik, laboratorium bahasa
inggris maupun indonesia, ruang praktek, perpustakaan, kantin, lapangan basket
dan sebagainya dirasa sudah biasa dan pasti ada di kebanyakan sekolah.
Namun apabila sekolah
yang berada di desa maupun pelosok belum tentu seberuntung sekolah yang berada
di kota. Dari segi akses, sekolah di sana mungkin masih jauh dari rumah. Tidak
jarang yang rela berjuang keras demi menuju ke sekolah mereka. Ingatkah dengan
film “Laskar Pelangi”? di daerah Bangka Belitung yang masih pelosok di sana
begitu menggambarkan perjuangan anak-anak yang ingin menuntut ilmu. Meski sulit
tapi mereka ingin melakukannya demi masa depan. Begitu mengharukan dan
memberikan motivasi. Nah, gambaran itulah yang mungkin masih banyak di
daerah-daerah lain yang belum terjamah fasilitas pendidikan yang layak bagi
warganya. Sekalipun ada, letaknya beberapa kilometer dari rumah. Itu saja
mereka harus berangkat berjalan kaki mulai hari masih gelap dengan rute
melewati sungai tanpa jembatan, menelusuri hutan, melompati batuan terjal, dan
sebagainya. Tak jarang sesampainya di sekolah mereka sudah basah kuyup baik
seragam maupun buku pelajaran mereka. Tanpa alas kaki mereka bersekolah, namun
masih tetap bisa tersenyum dan menerima pelajaran dengan baik. Sekolah di desa
atau pelosok juga mungkin tidak sebagus di kota. Dari bangunan masih seadanya
mungkin ada yang hanya sepetak, atau beberapa ruang saja. Ditambah kerusakan
bangunan yang sudah tua, apalagi fasilitasnya mungkin belum mumpuni. Mereka
tidak mempunyai laboratoium, perpustakaan, LCD disetiap kelas, dan sebagainya
apalagi studio musik. Sederhana dan apa adanya mereka. Tidak seimbang bukan?
Apa yang menjadi faktor membuat perbedaan itu?
Pada kasus ini mungkin
semua harus ditanggung oleh pemerintah. Baik pemerintah pusat dan pemerintah
daerah itu sendiri. Pertama pemerintah harus melakukan pendataan penduduk usia
sekolah. Adakah yang belum mendapatkan pendidikan. Kemudian pemerintah juga
harus menambah sekolah di beberapa wilayah yang dirasa belum terdapat tempat
pendidikan. Tentunya masyarakat setempat dapat bersekolah gratis selama 9
tahun. Karena masih banyak di daerah pelosok yang belum mendapatkan pendidikan
gratis akibat tidak meratanya pelaksanaan kebijakan pemerintah tersebut. Juga
adanya perbaikan bagi sekolah-sekolah di desa dan pelosok yang mengalami rusak
parah. Karena anak didik harus mendapatkan tempat pendidikan yang layak bagi
mereka. Kalau perlu dibuat seperti sekolah-sekolah yang ada di perkotaan juga.
Dengan segala fasilitas yang lengkap dan bermanfaat untuk menunjang prestasi
para siswa. Untuk itu, diharapkan siswa di desa dan di pelosok tidak tertinggal
dan tidak kalah pintar seperti siswa yang di kota dengan segala keistimewaannya.
Apabila letak sekolah
jauh dari pemukiman penduduk, maka pemerintah juga harus mengadakan anggaran
untuk membangun berbagai akses penunjang, seperti jembatan yang layak. Jika
letak sekolah dipisahkan oleh sungai yang besar, maka diperlukan akses sebuah
jembatan untuk mempermudah mereka menyeberangi sungai tersebut. Jembatan
tentunya harus kuat dan kokoh sebagai investasi jangka panjang bagi mereka yang
ingin bersekolah maupun, yang menggunakan jembatan itu.
Selain jembatan juga
dilakukan pembuatan aspal. Karena di desa atau pelosok sebagian besar belum
terdapat jalan yang diaspal. Tujuan dibuat jalan aspal yaitu agar jalanan tidak
lagi berlumpur atau berbatu. Jika hujan, sering kali keadaan seperti itu
menghambat kendaraan yang melintas karena becek dan membahayakan. Sehingga
dapat mengganggu akses para siswa yang ingin pergi ke sekolah. Ujungnya mereka
tidak berangkat ke sekolah dengan alasan hujan. Maka dari itu akses jalan juga
sangat penting menunjang pendidikan di daerah tertentu.
Selain fasilitas
infrastruktur, di desa dan pelosok juga diperlukan sistem pendidikan yang
berkualitas. Diantaranya adanya guru yang kompeten dan besertifikasi. Apabila
disuatu sekolah tersebut siswanya hanya sedikit maka perlu diadakannya
penggabungan. Tujuannya agar guru-guru yang kompeten tersebut dapat
memaksimalkan mengajarnya dan tidak membuat siswa merasa bosan apabila muridnya
hanya sedikit. Belajar dengan banyak teman dan menyenangkan, akan memotivasi
minat siswa untuk bersekolah. Sehingga jumlah guru yang ada di desa dan pelosok
jumlahnya perlu ditambah sebanyak-banyaknya untuk melahirkan ilmuwan dari desa
untuk Indonesia.
Dan yang terakhir untuk
menghemat anggaran pendidikan, sebaiknya pemerintah memperbanyak dan memperluas
keberadaan perpustakaan keliling. Perpustakaan keliling ini dirasa cukup
efektif dan bermanfaat bagi masyarakat. Tidak hanya untuk anak yang bersekolah
saja. Tapi masyarakat lain yang sudah tidak bersekolah pun juga bisa
menggunakan fasilitas umum tersebut. Tentunya masyarakat menjadi banyak
pengetahuannya dengan budaya membaca yang mereka peroleh dari perpustakaan
keliling. Jadi, di dalam sekolah tidak diharuskan mendirikan perpustakaan
khusus. Cukup menunggu perpustakaan keliling datang ke sekolah mereka dan mereka
bebas memilih buku apapun yang ingin dibaca.
Terlepas dari pembahasan kedua kasus di atas, secara umum
dalam mewujudkan kesetaraan pendidikan di Indonesia ini ditentukan melalui
beberapa ketentuan yang menurut saya dapat memberikan perubahan bagi pendidikan
di Indonesia.
1.
Guru
Di Indonesia sendiri, sudah
banyak yang berminat menjadi guru. Karena saat ini guru terjamin hidupnya oleh
negara. Sehingga saat test CPNS, tidak sedikit yang melakukan kecurangan.
Seperti menggunakan uang agar diterima sebagai pegawai negeri. Tentunya hal
tersebut menyebabkan penerimaan guru yang kurang kompeten dan asal-asalan sudah
boleh mengajar di sekolah. Itu yang menyebabkan sering terjadinya ketidak
jelasan saat mengajar siswa. Mungkin karena pengetahuan dan pengalaman yang
kurang. Jadi sebaiknya calon-calon guru tersebut harus melalui beberapa tes,
kemudian praktek sebanyak-banyaknya, dan diadakannya diklat bagi mereka agar
lebih kompeten dalam mengajar. Pemerintah pun harus lebih selektif dalam
menerima calon CPNS. Sehingga guru yang benar-benar kompeten dapat dialokasikan
secara merata baik di kota maupun desa dan pelosok. Karena seorang guru dapat
menentukan berhasil tidaknya 1.000 orang. Gurulah pemeran penting dalam
mewujudkan kesetaraan pendidikan di negeri ini.
2.
Layanan Prima
Pendidikan
Layanan prima tidak
selalu memberi keistimewaan tanpa manfaat. Artinya pendidikan harus
terselenggara dengan baik antara kinerja guru dengan siswa. Sehingga pendidikan
dapat diutamakan daripada pengajaran. Pendidikan harus menekankan aktivitas
mandiri bagi murid. Jadi pendidikan yang baik itu menanamkan pengertian
daripada hafalan. Apabila hanya hafalan, murid tidak akan sanggup
mengaplikasikan dalam kehidupan nyata. Agar lebih kompeten, pendidikan
disesuaikan dengan perkembangan anak. Dan harus diberikan satu per satu
sehingga manfaatnya dapat langsung dirasakan oleh murid yang bersangkutan. Baik
melihat petunjuk, mempelajari, dan mempraktikannya. Sehingga rasionalisme yang
ada di kepala manusia, otomatis akan mengingat-ingat apa yang telah diamati,
kemudian mempelajari dan mengolah bahan yang telah diterimanya dengan baik. Untuk
itu layanan pendidikan tidak hanya dalam bentuk pengajaran, namun juga
mengedepankan kreatifitas individu dalam memecahkan masalah di kehidupan nyata.
3.
Peran pemerintah
Jika dihubungkan
masalah pendidikan di Indonesia dari akar hingga ujungnya pasti ada kaitannya
dengan pemerintah. Pemerintahlah peran paling penting dalam segala aspek. Dari yang
mengadakan, membangun, hingga mengontrol serta menetapkan aturan kebijakan
pendidikan. Namun masih banyak kekurangan mengenai kebijakan pemerintah dan
perlu dibenahi. Diantaranya penyelenggaraan UAN. Menurut saya, UAN (Ujian Akhir
Nasional) langkah dalam menentukan kelulusan bagi para siswa kurang efektif.
Selain menghabiskan dana yang cukup besar, juga memberi kesan menyeramkan bagi
sebagian pelajar. Proses yang dilalui beberapa tahun di sekolah, hanya
ditentukan dalam 3 atau 4 mata pelajaran saja. Dengan target pencapaian KKM yang
setiap tahun semakin meningkat, pasti akan mempengaruhi psikologi para siswa.
Alangkah lebih baik,
apabila Ujian Akhir Nasional tetap dilaksanakan sebagai tolak ukur. Namun tidak
hanya mata pelajaran adaptif saja, diharap tetap mempertimbangkan hasil rapor,
praktek, bakat hingga kepribadian setiap individu. Seperti yang telah
diterapkan pada SMA/SMK sederajat, sekiranya SMP juga perlu. Sehingga lulus
tidaknya anak tersebut ditentukan oleh sekolah itu sendiri. Karena pihak
sekolah yang lebih mengetahui kemampuan masing-masing siswanya dan bukan ditentukan
oleh negara. Bisa saja siswa yang kesehariannya sangat cerdas namun, saat UAN
ia merasa stres. Sehingga ia dinyatakan TIDAK LULUS dalam melalui proses
belajar. Adanya ketidakadilan apabila sampai terjadi hal tersebut. Atau bisa
juga terjadi kesalahan pada alat yang digunakan untuk mengoreksi lembar
jawaban. Jawaban yang seharusnya benar, karena goresan yang kurang tebal
ataupun salah pensil menjadikan jawabannya juga salah dan itu merugikan siswa.
Anggaran untuk
menyelenggarakan UAN sendiri dinilai cukup besar dan menggunakan APBN
masyarakat yang tidak sedikit. Namun masih terlihat tidak jelas ujungnya.
Daripada timbul tindak kecurangan dari pemerintah yang menyalahgunakan dana
tersebut (korupsi), lebih baik sebagian dana dialokasikan untuk pembangunan gedung
sekolah serta perbaikan sekolah yang rusak dan tidak layak di daerah-daerah
yang lebih membutuhkan perhatian pemerintah. Bagi pemerintah, utamakanlah
kepentingan anak bangsa yang kelak akan memimpin Indonesia menjadi lebih maju
dan nomor satu.
4.
Seluruh Masyarakat dan
Lembaga Sosial
Sebagai masyarakat yang
bertanah air satu, tanah air Indonesia maka kita harus bersatu. Masyarakat
wajib berperan aktif memerangi kebodohan di negeri ini. Hilangkan persepsi
mengenai pendidikan yang tidak berpihak pada golongan kebawah. Salah satunya
dengan usaha lembaga sosial kepada masyarakat. Seharusnya mereka lebih aktif
memberikan penyuluhan tentang pentingnya pendidikan. Tentunya mampu memberikan
gambaran yang menyenangkan bagi mereka. Pendidikan tidak hanya menuntut mereka
duduk di bangku sekolahan dan melakukan ujian. Namun pendidikan yang utama
bertujuan menjadikan masyarakat berwawasan luas, mempunyai budi pekerti luhur,
dan mampu memberi perubahan untuk negeri. Untuk itu masyarakat perlu sadar dan
berusaha menjadi lebih baik. Tinggal bagaimana tindakan pemerintah dan lembaga
sosial menyediakan fasilitas yang layak bagi seluruh masyarakat.
Kesimpulannya, demi
mewujudkan kesetaraan pendidikan di Indonesia dapat dilihat dari berbagai
aspek. Tentunya digolongkan sesuai permasalahannya. Untuk mencapai suatu tujuan
tersebut juga perlu adanya usaha. Seluruh Warga Negara baik pemerintah, LSM,
hingga masyarakat wajib ikut serta.
Hilangkan kebodohan
dari muka bumi, dan ciptakan manusia berprestasi. Tanpa adanya pendidikan yang
layak bagi suatu bangsa, ibarat tiang tidak akan berdiri tegak. Jangan biarkan
bangsa ini terus terpuruk. Selesaikan dengan moral dan tindakan yang
berpendidikan. Unggulkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai landasan berdirinya
negeri ini. Yakni untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Mari Putra dan Putri
Indonesia, bangkitkan semangat kita untuk belajar! Jangan lelah, dan jangan
menyerah! Yakinlah suatu hari nanti, impian negeri ini akan menjadi nyata.
INDONESIA BISA!! :)
LAMPIRAN
Sungai Ciberang
Menantang maut,
mungkin ungkapan ini cocok untuk para siswa SD di Kampung Waru, Desa
Sangiangtanjung, Kec. Kalanganyar, Kab. Lebak, Banten. Tiga murid SD Negeri 02
Sangiangtanjung ini harus melintasi sebuah jembatan gantung yang miring karena
talinya putus.
Nasib anak
jalanan yang harus bekerja mencari nafkah. Sangat memprihatinkan dan membuat
hati sedih. Seharusnya mereka mendapatkan pendidikan yang layak.
Perbedaan yang
cukup jelas antara sekolah di desa dan sekolah di kota. Sekolah di desa (bawah)
mempunyai ruang kelas yang tidak layak dan berbahaya bagi penghuninya.
Sedangkan sekolah di kota (atas) sangat layak dan memiliki fasilitas yang
cukup.
Perpustakaan
merupakan fasilitas umum yang menjadi alternatif paling efektif untuk menunjang
pendidikan bagi siswa dan seluruh masyarakat.
Perpustakaan
keliling (atas) berkeliling dari lokasi satu ke lokasi lain untuk memberikan
kesempatan bagi masyarakat yang ingin membaca. Perpustakaan sekolah (bawah)
yang digunakan khusus untuk warga sekolah itu sendiri.
by: Nurul Eka Hidayah
meskipun karya essay ini gagal menjuarai perlombaan essay, namun saya tetap optimis! :)
ReplyDelete